Kamis, 26 Mei 2016

DIMENSI KAJIAN ILMU (ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI)”



FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA
“DIMENSI KAJIAN ILMU (ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI)”
DOSEN PEMBIMBING:
WIRA SUGIATO, S.ip, MP.di
stain

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK I

SITI NAHRIYAH
SEMESTER PAI (IV A)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TARBIYAH DAN KEGURUAN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BENGKALIS
(STAIN) BENGKALIS
TAHUN 2016 /1437 H


KATA PENGANTAR

            Puji syukur  penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik yaitu mengenai
‘Dimensi Kajian Filsafat Ilmu (Ontology, Epistemology dan Aksiologi)’.
Dengan selesainya makalah ini tentunya tidak terlepas dari unjuk ajar dosen pembimbing bidang studi Filsafat Ilmu dan Logika serta bantuan dari semua pihak yang turut serta dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih, juga kepada kedua orang tua yang selalu memberi semangat maupun material yang sangat menunjang keberhasilan makalah ini.

            Penulis menyadari bahwa pembuatan dan penyusunan makalah ini belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk dapat menyempurnakan makalah ini.

Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan juga kepada semua pembaca yang budiman.






                                                                                                                  Penulis
                                                                                                                       
                                                                                                            KELOMPOK I

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................     i
DAFTAR ISI......................................................................................................................     ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................    1
Latar Belakang........................................................................................................     1
BAB II PEMBAHASAN
DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU (ONTOLOGI,EPISTEMOLOGI......................     2
A.    Ontologi.............................................................................................................     2
B.     Epistemologi......................................................................................................     5
C.     Aksiologi............................................................................................................     9
BAB III PENUTUP............................................................................................................    16
Kesimpulan..............................................................................................................    16
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang ,
Socrates menggambarkan akal merupakan segalanya, dan merupakan pokok serta satu-satunya jalan yang dapat menuntun manusia mencari kebenaran. Iya berfilsafat untuk hidup, karena dengan berfikir maka eksistensinya sebagai manusia dapat dipertahankan. Filsafat jika ditinjau lebih mendalam lagi bukan sekedar ilmu logika yang lebih mengedepankan rasionalitas, karena filsafar merupakan pondasi awal dari segala macam disiplin keilmuan yang ada. Adapun ilmu merupakan suatu cabang pengetahuan yang berkembang dengan sangat pesat dari waktu kewaktu. Hamper seluruh aspek kehidupan manusia menggunakan ilmu, seperti agama, ekonomi, sosoial, budaya, dan teknologi.
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan mengamatan ataupun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan/penelitannya. Dengan demikian, illmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya oprasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan berasal.
            Filsafat merupakan studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen  dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, member argumentasi dan alasan yang tetap untuk alasan tertentu.


BAB II
PEMBAHASAN
DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU
(ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI)
A.    ONTOLOGI
1.      Pengertian Ontologi
     Ontologi adalah cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang hakikat ilmu pengetahuan. Noeng Muhadjir menjelaskan bahwa ontology itu ilmu yang membicarakan tentang hakikat realitas yang ada.
     Ilmu pengetahuan adalah keberadaan suatu fenomena kehidupan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Ontology juga merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Dalam ontology orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerapkan hakikat dari segala yang ada. Pertama kali orang menghadapkan pada persoalan materi (kebenaran), dan kedua pada kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan). Kedua realitas ini, yaitu lahir dan batin, merupakan hakikat keilmuan manusia[1].
     Hakikat ada atau realitas ada itu bagi filsafat selalu bersifat utuh. Misalnya, bila secara ilmu hukum kita berfikir tentang kebenaran atau keadilan, maka dapat ditunjukan bahwa kebenaran atau keadilan itu ada atau biasa diadakan dalam hidup manusia sehingga bias dibuktikan atau ditolak kebenarannya.
2.      Cara Berfikir Ontologi Dalam Ilmu Pengetahuan
     Menurut Muhadjir (2011), cara berpikir ontology dapat berbenturan dengan suatu agama. Agama selalu berpikir tentang ada atas dasar iman atau keyakinan. Filsafat ilmu ontology tidak mengajak berdebat antara ilmu dan iman. Ontology sebagai cabang filsafat ilmu yang mencoba mencermati hakikat keilmuan karena ontology menjadi pijakan manusia berpikir keritis tentang keadaan alam semesta yang sesungguhnya.
     Filsafat dalam  hal ini lebih merupakan sesuatu pemiiran yang universal, menyeluruh, dan mendasar, sementara ilmu lainya merupakan pemikiran yang lebih psesifik atau khusus, karena membatasi pada objek dan sudut pandang  pemikiran yang khas.  Objek kajian filsafat mencakup segala sesuatu, sejauh bisa dijangkau oleh pikiran manusia. Filsafat berusaha menerangi dunia dengan raasio, dan karena, fisafat lebih merupaka “kebijakan duniawi”, bukan “kebijakan ilahi” yang sempurana dan mutlak abadi.
     Filsafat tidak pernah akan menerima secara buta berbagai pemikiran, keyakinan, egoism, keilmuan, atau pandangan kepribadian yang bersifat individual semata. Justuru filsafat berusaha mengajukan pertanyaan secara baru dan menjawabnya secara baru pula, berdasarkan aktualitas dan tuntunan dinamika perkembangan yang dihadapi.
     Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara pengetahuan yang memuat penampakan dan kenyataan. Kedua hal ini dalam pandangan thales sebagai filsuf pernah sampai pada kesimpulan bahwa air substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Dia tampaknya melihat realitas dari sisi yang tampak; yang tampak itulah realitas(kenyataan). Secara seksama, dia sebenarnya telah berpikir berpikir ontology tentang sangkaan peran alam semesta.
3.      Karakteristik Ilmu Pengetahuan Secara ontology
     Pengetahuan dan ilmu pengetahuan tentu berkaitan dengan realitas. Orang yang mempelajari pengetahuan dan ilmu pengetahuan akan menelusuri realitas secara cermat. Hakikat kenyataan atau realitas memang bisa didekati dari sisi ontology dengan dua macam sudut pandang kuantitatif dan kualitatif
      Ontology sebagai cabang filsafat ilmu telah melahirkan sekian banyak aliran otologisme. Tiap ontology biasanya memegang pokok pikiran yang satu sama lain saling mendukung dan melengkapi.
     Beberapa aliran dalam bidang ontologi antara lain:
a)      Aliran Realisme
     Realism merupakan filsafat yang memandang realisasi secara dualistis. Berbeda dengan materialisme maupun dengan idealism, yang sifatnya monistis.
     Pada dasarnya, realisme berrpendapat bahwa hakikat realism adalah terdiri dari dunia fisik dan dunia roh. Aristoteles sebagai tokoh realisme memandang dunia serba dua, atau cara dualistis. Aristoteles membangun sebuah metafiska terutama untuk menjelaskan dunia alamiah.

b)      Aliran Naturalisme
     Naturalism merupakan suatu pendirian bukan merupakan suatu dokrin, atau ajaran. Naturalisme memandangan bahwa ada suatu aturan atau hokum alam yang mengatur dunia ini secara cerdas. Aturan ini identik dengan atau dalam alam itu sendiri, tidak perlu mencari hokum dan maknanya diluar alam, karena hukum maupun maknanya dapat dicari dalam alam itu sendiri. Materialism yunani kelasik, adalah suatu contoh dari suatu bentuk naturalism, karena dasar pandangannya adalah benda dalam gerak, dimulai oleh demokritos (460-370 sm) yang telah dirintis oleh Leucippus dan dilanjutkan oleh epicurus, yang lebih dikenal dengan epicurisme.

c)      Aliran materialisme
     Berbeda dengan idelaisme, materialism menghilangkan jiwa, bahkan termasuk juga tuhan dihilangkan dari metafisika. Dan mencoba untuk menjelaskan segala sesuatu dari sudut peristiwa materi. Menurut materialime, bahwa kenyataan yang sebenarnya, atau hakikat realisasi adalah materi, bukan roh, bukan spiritual atau bukan supernatural. Materi merupakan satu-satunya substansi yang mengisi ruang dan waktu, tidak ada dunia lain diluar dunia yang kita alami sekarang ini. Dengan kata lain tidak ada kehidupan bagi manusia setelah manusia itu mati, manusia adalah materi yang sama seperti batu, besi, dan materi yang lainnya[2].
            Atas dasar ketiga aliran tersebut, ontologi selalu memiliki ciri-ciri. Setiap aliran memberikan gambaran luas suatu cabang keilmuan. Ciri-ciri terpenting yang terkait dengan ontologi antara lain:
1)      Membahas yang ada
2)      Kenyataan atau realitas
3)      Eksistensi
4)       Esensi
5)      Substansi
6)      Perubahan
7)      Tunggal dan jamak
Ontology itu pantas dipelajari bagi orang-orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi. Orang yang belajar ontology akan paham tentang hakikat suatu ilmu.
Dasar ontology ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindra manusia. Jadi, masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris.
Objek otology sama halnya dengan objek filsafat antara lain:
1)      Objek formal, yaitu objek formal ontology sebagai hakikat seluruh realitas.
2)      Objek material, yaitu suatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari.
B.     Epistemologi
1.         Pengertian Epistemologi
      Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani “Episteme” yang berarti Pengetahuan dan “Logos” yang berarti Teori. Secara etimologis, berarti teori pengetahuan. Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan atau menyelidiki tentang asal, susunan,metode, serta kebenaran pengetahuan. Menurut Langeveld, teori pengetahuan membicarakan hakikat pengetahuan, unsur-unsur pengetahuan, dan susunan berbagai jenis pengetahuan, pangkal tumpuannya yang fundamental,metode-metode dan batas-batasnya.
      Jadi, epistemologi merupakan cabang atau bagian dari filsafat yang membahas masalah-masalah pengetahuan.
      Menurut Koestenbaum (1968), secara umum epistemologi berusaha untuk mencari jawab atas pertanyaan “apakah pengetahuan?” Akan tetapi, secara spesifik, epistemologi berusaha menguji masalah-masalah yang kompleks seperti hubungan anatara pengetahuan dengan kepercayaan pribadi, status pengetahuan yang melampaui pancaindra, status ontologis atau kata-kata yang bersifat umum dengan objek-objek yang di tunjuk oleh konsep-konsep atau kata-kata, dan analisis atas tindakan mengetahui itu sendiri[3].
2.        Berkenalan dengan Epistemologi Islam
a.    Epistemologi Bayani
Bayani dalam bahasa arab berarti penjelasan (explanation). Arti asal katanya adalah menyingkp dan menjelaskan sesuatu, yaitu menjelaskan maksud suatu pembicarakan dengan menggunakan lafadz yang paling baik (komunikatif).
Al-Jabiri memaknai al-bayan secara epistemologi, dengan mengacu kepada kamus Lisan al-arab karya Ibn Mandzur, yang didalamnya tersedia materi-materi bahasa arab sejak permulaan masa tadwin,yang masih mempunyai makna asli yang belum tercampuri oleh pengertian lain, karena dari makna asli tersebut akan diketahui watak dan situasi yang mengitari. Makna al-bayan di sini mengandung empat pengertian, yakni al-fasl wa al- infishal dan al-dzuhur wa al-idzhar, atau bila harus disusun secara hirarkis atas dasar pemilahan antara metode (manhaj) dan visi (Ru’yah) dalam epistemologi bayani,dapat disebutkan bahwa al bayan sebagai metode al-fasl wa al-infishal,sementara al bayan sebagai visi al-dzuhur wa al-idzhar.
b.      Epistemologi Irfani
Irfani berasal dari kata irfan yang dalam bahasa arab merupakan bentuk dasar  (Masdar) dari kata ‘Arafa, yang semakna dengan ma’rifat. Dalam bahasa arab, istilah al-‘irfan berbeda dengan kata al-‘ilm. Al-‘ilm menunjukan pemerolehan objek pengetahuan (al-ma’lumat) melalui transformasi (naql) ataupun rasionalitas (‘aql), sementara irfan atau ma’rifat berhubungan dengan pengalaman langsung dengan objek pengetahuan[4].

c.       Epistemologi Burhani
Dalam bahasa arab,al-burhan berarti argumen (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah;clear) dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration,yang mempunyai akar bahasa latin: demonstratio (berarti memberi insyarat, sifat,keterangan dan penjelasan). Dalam perspektif logika      (almantiq), burhani adalah aktivitas berfikir untuk menetankan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang nalar dibenarkan telah terbukti kebenarannya(badlihiyyah). Sedangkan dalam pengertian umum, burhani adalah aktifitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.
3.      Ruang Lingkup Epietemologi
      Menurut J.F.Ferrier (dalam Koestenbaun, 1968) Epistemologi  pada dasarnya berkenaan dengan pengujian filsafat terhadap batas-batas, struktur-struktur, metode-metode, dan validitas (kebenaran) pengetahuan. Berikut akan di deskripsikan ruang lingkup epistemologi sebagai mana dikemukakan oleh Ferrier tadi.
a.       Batas-batas pengetahuan
Para ahli filsafat seperti John Locke (1632-1704), David Hume (1711-1776), dan Immanuel Kant (1724-1804) sering mengajukan pertanyaan seperti ini: apakah pengetahuan, terutama pengetahuan yang benar, mungkin tercapai oleh manusia? Ada sejumlah jawaban yang diajukan dalam filsafat, diantaranya: skeptisisme, realisme naif, skeptisisme Descartes, realisme kritis, kritisisme Immanuel Kant, dan positivisme logis.
1.      Skeptisisme
Menurut paham ini, tidak mungkin kita mencapai pengetahuan selain berupa pengenalan-pengenalan yang bersifat sementara. Gejala atau realitas selalu berubah dan perangkat perseptual (indera) manusia tidak sempurna, sehingga hasil persepsi (pengetahuan) manusia tidak pernah bisa dipercaya. Demikian juga, rasio atau pikiran manusia sangat terbatas, sehingga tidak akan pernah mungkin sampai pada pengetahuan yang sejati. Oleh sebab itu, kita jangan meyakini kebenaran pengetahuan manusia, melainkan harus meragukannya.
2.      Realisme Naif
Pandangan ini biasanya dianut oleh orang awam (Common Sense). Menurut paham ini, pengetahuan sangat dimungkinkan sejauh bersesuaian dengan objek yang dipersepsi. Pengetahuan, konsep, atau gambaran tentang pohon, misalnya, harus bersesuaian dengan pohin yang diamati. Pengetahuan kita adalah gambaran yang sesungguhnya dari realitas diluar kita. Dunia adalah sebagaimana ang tampak pada indra kita atau sebagaimana ia memanifestasikan diri dalam kesadaran kita. Objek dalam kesadaran kita adalah gambaran sebenrnya dari objek diluar kita dan demikian, pengetahuan yang melampaui atau diluar realitas yang nyata adalah tidak mungkin. Pengetahuan hanya mungkin sejauh yang dapat diamati dan dibuktikan melalui indra kita.

3.      Skeptisisme Descartes
Menurut Descartes, segala sesuatu (termasuk apa yang ada dalam pengetahuan kita dan bahkan pengetahuan itu sendiri) dapat diragukan keberadaannya.

4.      Realisme Kritis
Meski pengetahuan hanya mungkin sebatas pengalaman indra (sebagaimana yang diyakini oleh realisme naif), tapi pengetahuan yang mengatasi pengalamaanpun dimungkinkan, sejauh ada justifikasi rasional terhadapnya. Paham ini mengatasi realisme naif, karna ia mengakui adanya peran pikiran manusia. Pikiran manusia menambahkan dan sekaligus mendistorsi data dari dunia luar ; namun ide-ide dan konsep-konsep yang kita miliki harus selalu bersesuaian dengan (correspondence to) data. Jika tidak, berarti ide- ide dan konsep-konsep tersebut keliru (salah).

5.      Kritisisme Immanuel Kant
Menurut Kant, realitas pada dasarnya terbagi kedalam dua dunia yakni Dunia fenomenal (phenomenon, atau dunia sebagaimana menampakan diri pada pengamat) dan Dunia noumenal (noumenal, atau dunia yang sesungguhnya, yang berada di dalam diri realitas itu sendiri). Meskipun dunia noumenal itu ada, tetapi keberadaannya diluar pengetahuan kita. Kita tidak dapat sungguh-sungguh menjangkaunya. Kant memberinya nama Ding-an-sich ( ada dalam dirinya sendiri) pikiran manusia tidak bisa menembus dunia noumenal ini pengetahuan manusia terbatas hanya pada dunia fenomenal, dunia pengalaman. Didalam dunia fenomenal, pengetahuan kita merupakan campuran dari apa yang diterima (dialami) oleh kita dari luar dengan proyeksi-proyeksi dan harapan-harapan kita sendiri: ruang dan waktu adalah “ kondisi subjektif dari sensibilitas kita” atau “ bentuk dari intuisi” yakni, mereka adalah proyeksi dari pikiran kita sendiri dan penambahan pada kualitas murni atau bahan material dari pengalaman (warna bentuk suara) yang masuk kesadaran dari luar.

6.      Positivisme Logis
Aliran filsafat ini masalah yang bisa diketahui dan yang tidak bisa diketahui diubah dalam bentuk yang bermakna dan yang tidak bermakna.menurut aliran ini,kriteria untuk membedakan yang bermakna dari yang tidak bermakna adalah pembuktian dari verifikasi empiris.dengan demikian,batas-batas pengetahuan dan juga ukuran kebenaran suatu pengetahuan adalah kemungkinannya untuk diverifikasi. 

b.      Sumber  dan struktur pengetahuan
Apa sebetulnya sumber pengetahuan itu ?bagaimana struktur nya? Ada sejumlah aliran filsafat yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut,antara lain rasionalisme dan empirisme.
Menurut rasionalisme,pengetahuan pada dasarnya diperoleh dari pemikiran logis dan deduktif melalui rasio manusia.sebaliknya,menurut empirisme, pengetahuan diperoleh dari pengamatan inderawi manusia.jadi,empirisme menekankan karakter eksperimental dan perseptual dari pengetahuan,sedangkan rasionalisme pada karakter kekuatan logika dan matematika.
Untuk memahami perbedaan antara rasionalisme dan empirisme mari kita lihat persoalan mengenai pengetahuan a priori, atau pengetahuan tentang suatu objek sebelum kita memiliki pengalaman tentang objek itu. Rasionalisme abad ke-17 berpandangan bahwa semua atau beberapa pengetahuan yang sangat penting tentang dunia secara logis tidak tergantung pada pengalaman. Dengan oerkataan lain,rasionalisme percaya bahwa ada proposisi-proposisi tentang dunia yang dapat diverifikasi dan dijustifikasi hanya oleh kerja rasio,tanpa memerlukan bantuan pengalaman.
Empirisme menolak kemungkinan pertimbangan a priori.bagi seorang penganut empirisme,pengalaman empiris adalah satu satunya sumber pengetahuan.tidak ada pengetahuan yang tidak berasal dari pengalaman. John Locke bahkan menegaskan bahwa jiwa atau pikiran manusia pada dasarnya seperti kertas kosong, seperti tabularasa; pengalamanlah yang mengisi jiwa atau pikiran itu sehingga ia seolah-olah mempunyai pengetahuan a priori.
C.    AKSIOLOGI
1.      Pengertian Aksiologi
Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan “ axios “  ( Yunani ) yang berarti “Nilai” dan “logos” yang berarti “teori”.  Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Penggunaan istilah aksiologi sebetulnya baru diperkenalkan oleh Paul Lapie daalam Bukunya, “Grundrisder Axiologie”. Teori tentang nilai dapat kita bagi menjadi a) Nilai etika, b) Nilai estetika[5].

a.       Etika
Istilah etika berasal dari kata “ethos” ( Yunani ) yang Artinya ‘adat kebiasaan’. Dalam istilah lain para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutnya dengan ‘moral’. Walaupun antara kedua istilah etika dan moral ada perbedaannya, namun para ahli tersebut tidak membedakannya dengan tegas, bahkan cendrung untuk memberi arti yang sama secara pasti.

Menurut Langeveld etika ialah teori perbuatan manusia, yaitu ditimbang menurut baik dan buruknya. Selanjutnya Dagobert Runes, mengemukakan bahwa etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia dan meandangnya dari sudut baik dan tidak baik.etika merupakan filsafat tentang prilaku manusia.
Etika dapat dipandang sebagai studi filsafat tentang hubungan antar manusia,dan juga antara manusia dengan lembaga-lembaga yang diciptakannya (pemerintah,lembaga-lembaga kemasyarakatan,hukum,ekonomi,bahkan mungkin juga lembaga kepercayaan serta keagamaan)

b.      Estetika
       Estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni,dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni atau kesenian.kadang-kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni,dan kadang-kadang prinsip-prinsip yang berhubungan dengan estetika dinyatakan sebagai hakikat keindahan. Selanjutnya Randall mengemukakan ada tiga interprestasi tentang hakikat seni, yaitu :
1.      Seni sebagai penembusan [penetrasi] terhadap realisasi di samping pengalaman. Dengan merespon terhadap apa yang kekal dan tidak berubah. Plato menyatakan, bahwa ada suatu bentuk atau cita-cita absolut dari keindahan dengan sifat-sifat tertentu itu. Keindahan absolut adalah abadi/kekal dan tidak berubah, sedangkan semua benda-benda indah dalam alam ini adalah fana sifatnya dan dapat rusak.
2.      Seni sebagai alat untuk kesenangan. Seni tidaklah berhubungan dengan pengetahuan tentang alam dan memprediksikannya, tetapi berhubungan dengan manipulasi alam untuk kepentingan kesenangan kita. Seni tidak hanya kekurangan nilai praktis. Apabila tidak merupakan jalan untuk kesenangan maka seni tidak mempunyai nilai apa pun. Menurut Tolstoy, seni adalah penyebaran atau penularan emosi oleh seniman. Makin luas emosi dan makin besar jumlah sentimen moral terlibat di dalamnya, akan semakin besarlah seni itu.
3.      Seni sebagai ekspresi sungguh-sungguh tentang pengalaman pandangan ini menganggap seni sebagai berakar dalam tali-tali pengalaman. [pandangan ini adalah pandangan Santayana dan Dewey: seni adalah pengalaman, yaitu pengalaman yang ditransformasikan secara sadar]. Seni adalah pengalaman dan penyungguhan pengalaman dengan transformasi imajinatif tentang pengalaman seni, sebagai pengalaman, mencerminkan pengalaman dan menambah pengalaman.

2.      Kategori Dasar Aksiologi
Menurut susanto(2011) mengatakan, ada dua kategori dasar aksiologi : Pertama,objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai. Kedua,subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi ( perasaan ). Dari sini muncul 4 pendekatan etika, yaitu teori nilai intuitif, teori nilai rasional, teori nilai alamiah, dan teori nilai emotif.
1.      Teori Nilai Intuitif ( The Intuitive Theory Of Value )
Menurut teori ini, sangat sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang apsolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditemukan melauli intuisi, karena ada tatanan moral yang bersifat baku .
2.      Teori Nilai Rasional (The Rational Theory Of Value)
Menurut teori ini, janganlah percaya pada nilai yang bersifat objektif dan murni independen dari manusia. Nilai ini ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar sebagai fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi, dengan nalar atau peran tuhan nilai ultimo, objektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3.      Teori Nilai Alamiah (The Naturalistic Theory Of Value)
Menurut teori ini nilai, diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan dan hasrat yang dialaminya. Nilai yaitu produk biososial, artefak manusia yang diciptakan, dipakai diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilaininstrumental dimana keputusan nilai tidak absolut tetapi bersifat relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subjektif, bergantung pada kondisi manusia.
4.      Teori Nilai Emotif ( The Emotive Theory Of Value )
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsepnnilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan 43 faktual melainkan hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia.

3.      Ilmu Sebagai Suatu Cara Berfikir
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan disini merupakan seperangkat sistem nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam hidup dan berkehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan kehidupan bernegara. Pengembangan kebudayaan nasional merupakan bagian dari kegiatan suatu bangsa, baik disertai atau tidak, maupundinyatakan secara eksplisit atau tidak.

Ilmu merupakan suatu cara berfikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya produk dari kegiatan berfikir. Ilmu merupakan produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah.

Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut pada hakikatnya mencakup dua kriteria utama yakni, Pertama, berpikir ilmiah harus mempunyai alur jalan pikiran yang logis, dan Kedua, pernyataan yang bersifat logis tersebut harus didukung oleh fakta empiris. Persyaratan pertama mengharuskan alur jalan pikiran kita untuk konsisten dengan pengetahuan ilmiah yang telah ada, sedangkan persyaratan kedua mengharuskan kita untuk menerima persyaratan yang didukung oleh fakta sebagai pernyataan yang benar secara ilmiah. Pernyataan yang telah teruji kebenarannya ini kemudian memperkaya Khazanah pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematik dan kumulatif.

4.      Ilmu Sebagai Asas Moral
Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, atau secara lebih sederhana, ilmu bertujuan untuk mendapatkan kebenaran. Kriteria kebenaran dalam ilmu adalah jelas sebagaimana yang dicerminkan oleh karakteristik  berpikirnya kriteria kebenaran ini pada hakikatnya bersifat otonom dan terbebas dari struktur kekuasaan di luar bidang keilmuan.

Disamping itu kebenaran bagi kaum ilmuwan mempunyai kegunaan khusus, yakni kegunaan yang universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaannya. Secara nasional maka ilmuwan tidak mengabdi golongan. Klik politik atau kelompok-kelompok lainnya. Secara internasional kaum ilmuwan tidak mengabdi ras ideologi, dan faktor-faktor pembatas lainnya.

Dua karaktereristik ini merupakan asas moral bagi kaum ilmuwan, yakni menjunjung tinggi kebenaran dan mengabdi secara universal. Tentu saja dalam kenyataannya pelaksanaan asas moral ini tidak mudah, sebab sejak tahap perkembangan ilmu yang sangat awal kegiatan ilmiah ini dipengaruhi oleh struktur kekuasaan dari luar.

5.      Nilai-Nilai Ilmiah Untuk Kemajuan Budaya Nasional
Sampailah kepada tujuh nilai yang terpencar dari hakikat keilmuan, yakni kritis,rasional,logis,objektif,terbuka,menjunjung kebenaran dan mengabdi secara universal. Dalam pembentukan karakter bangsa, sekiranya bangsa indonesia bertujuan menjadi bangsa yang modern, maka ketujuh sifat tersebut akan konsisten sekali. Bangsa yang modern akan menghadapi berbagai permasalahan dalam bidang politik, ekonomi, kemasyarakatan, ilmu/teknologii, pendidikan dan lain-lain, yang membutuhkan cara pemecahan secara kritis,rasional,logis,objektif dan terbuka.

Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi dan tujuan nasional. Proses pengembangan kebudayaan ini pada dasarnya adalah tuntutan zaman serta penumbuhan nilai-nilai yang fungsional, untuk terlaksananya kedua proses dalam pengembangan kebudayaan nasional tersebut, maka diperlukan sifat kritis, rasional, logis, objektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan pengabdian universal.

6.      Ilmu Sebagai Kekuasaan
Francis Bacon mengucapkan kata-kata termasyur ini “ ilmu adalah kekuasaan”. Orang menulis mengenai Allah : “Allah berfirman, dan terjadilah alam semesta”. Firman Allah, kata-kata Allah, mempunyai daya menciptakan. Kita memang tidak bisa berkata bahwa kata-kata manusia itu begitu saja mempunyai daya menciptakan. Ini sangat jelas dari kenyataan bahwa kita menghayati perkataan kita tidak  hanya sebagai pemberian arti, tetapi juga sebagai pengambilan arti. Tetapi itu adalah kebenaran yang sepihak, sebab perkataan kita mengambil arti pula. Kita merasakan bahwa kita selalu terikat dengan apa yang ingin kita katakan. Kita menyadari, bahwa kita bisa saja menyimpang dari sana. Kita bisa berkata “meleset” dari padanya.

Orang menulis mengenai Allah : “ Allah berfirman, dan terjadilah alam semesta”. Tentang manusia kita bisa berkata : “Manusia berkata, dan alam semesta mendapatkan arti.” Hendaknya kita disini jangan lupa, bahwa apa yang dikatakan oleh satu orang bisa berulang kali diucapkan kembali oleh dia sendiri dan oleh orang banyak lainnya. Merleau ponty menggunakan istilah “Ia parole parlee” [kata yang diucapkan]. Yang dimaksudkannya ialah sesuatu yang diucapkan oleh semuanya, atau oleh kebanyakan orang.

Ini dibuktikan oleh sejarah pada zaman Galilei, setiap orang berkata bahwa segala sesuatu berputar sekitar bumi yang tidak bergerak, dan bahwa matahari mengelilingi bumi. Ada orang yang  mengatakannya untuk pertama kali, dan semua orangmenirukannya, jadi begitu lah adanya. Galilei mulai menentang itu dengan alasan mengatakannya, suatu cara mengungkapkan persoalan dengan lebih baik. Tetapi itu mendapat tantangan. Orang menentang Galilei demi kebenaran, bahkan demi kitab suci yang dianggap menguatkan kebenaran itu dengan kekuasaan ilahi.
Galilei dituntut demi kebenaran, demi wahyu ilahi. Sesungguhnya Galilei bertentangan dengan kekuasaan pemberi arti dan kata-kaprah. Kekuasaan ini hampir menghancurkannya. Semua orang mengatakannya dengan cara yang demikian, jadi, demikianlah adanya. Tentu saja, waktu itu ada juga perbedaan pendapat, tetapi perbedaan-perbedaan pendapat itu nyata sekali tenggelam dibawah cakrawala pendapat umum dibentuk oleh kekuasaan bersama dari cara bertutur.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Ontologi adalah cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang hakikat ilmu pengetahuan. Noeng Muhadjir menjelaskan bahwa ontology itu ilmu yang membicarakan tentang hakikat realitas yang ada.
            Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan atau menyelidiki tentang asal, susunan,metode, serta kebenaran pengetahuan. Menurut Langeveld, teori pengetahuan membicarakan hakikat pengetahuan, unsur-unsur pengetahuan, dan susunan berbagai jenis pengetahuan, pangkal tumpuannya yang fundamental,metode-metode dan batas-batasnya.
Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Penggunaan istilah aksiologi sebetulnya baru diperkenalkan oleh Paul Lapie daalam Bukunya, “Grundrisder Axiologie”. Teori tentang nilai dapat kita bagi menjadi a) Nilai etika, b) Nilai estetika.

DAFTAR PUSTAKA
Mukhtar Latif, Orientasi Ke arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Kencana,2014,Jakarta
H. Burhanudin Salam, Logika Material,rineka cipta,Jakarta,1997.
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,2011.
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu,Yogyakarta,2004.
Latif mukhtar, orientasi kearah pemahaman filsafat ilmu,jakarta,kencana,2014.



[1]Mukhtar Latif, Orientasi Ke arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Kencana,2014,Jakarta,hlm172.
[2] H. Burhanudin Salam, Logika Material,rineka cipta,Jakarta,1997.hlm77-78.
[3] Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,2011,hlm35.
[4] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu,Yogyakarta,2004.hlm197-198
[5] Latif mukhtar, orientasi kearah pemahaman filsafat ilmu,jakarta,kencana,2014.hlm229