FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA
“DIMENSI
KAJIAN ILMU (ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI)”
DOSEN
PEMBIMBING:
WIRA
SUGIATO, S.ip, MP.di

DISUSUN
OLEH:
KELOMPOK
I
SITI
NAHRIYAH
SEMESTER
PAI (IV A)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TARBIYAH
DAN KEGURUAN
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BENGKALIS
(STAIN)
BENGKALIS
TAHUN
2016 /1437 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas rahmat
dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
yaitu mengenai
‘Dimensi Kajian Filsafat Ilmu (Ontology,
Epistemology dan Aksiologi)’.
Dengan selesainya makalah ini tentunya tidak terlepas dari
unjuk ajar dosen pembimbing bidang studi Filsafat Ilmu dan Logika serta bantuan
dari semua pihak yang turut serta dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih, juga kepada kedua orang tua yang selalu
memberi semangat maupun material yang sangat menunjang keberhasilan makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa pembuatan
dan penyusunan makalah ini belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca untuk dapat menyempurnakan makalah ini.
Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan juga kepada semua pembaca yang budiman.
Penulis
KELOMPOK
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
Latar Belakang........................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU
(ONTOLOGI,EPISTEMOLOGI...................... 2
A. Ontologi............................................................................................................. 2
B.
Epistemologi...................................................................................................... 5
C.
Aksiologi............................................................................................................ 9
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 16
Kesimpulan.............................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang ,
Socrates menggambarkan akal merupakan segalanya, dan
merupakan pokok serta satu-satunya jalan yang dapat menuntun manusia mencari
kebenaran. Iya berfilsafat untuk hidup, karena dengan berfikir maka
eksistensinya sebagai manusia dapat dipertahankan. Filsafat jika ditinjau lebih
mendalam lagi bukan sekedar ilmu logika yang lebih mengedepankan rasionalitas,
karena filsafar merupakan pondasi awal dari segala macam disiplin keilmuan yang
ada. Adapun ilmu merupakan suatu cabang pengetahuan yang berkembang dengan
sangat pesat dari waktu kewaktu. Hamper seluruh aspek kehidupan manusia
menggunakan ilmu, seperti agama, ekonomi, sosoial, budaya, dan teknologi.
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan
dengan jalan melakukan mengamatan ataupun penelitian, kemudian peneliti atau
pengamat tersebut berusaha membuat penjelasan mengenai hasil
pengamatan/penelitannya. Dengan demikian, illmu merupakan suatu kegiatan yang
sifatnya oprasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu
pengetahuan berasal.
Filsafat
merupakan studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara
kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan
melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari
solusi untuk itu, member argumentasi dan alasan yang tetap untuk alasan
tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN
DIMENSI KAJIAN
FILSAFAT ILMU
(ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI,
DAN AKSIOLOGI)
A.
ONTOLOGI
1.
Pengertian
Ontologi
Ontologi adalah cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang
hakikat ilmu pengetahuan. Noeng Muhadjir menjelaskan bahwa ontology itu ilmu
yang membicarakan tentang hakikat realitas yang ada.
Ilmu pengetahuan adalah keberadaan suatu fenomena kehidupan yang
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Ontology juga merupakan salah satu
di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Dalam ontology
orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerapkan hakikat dari segala
yang ada. Pertama kali orang menghadapkan pada persoalan materi (kebenaran),
dan kedua pada kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan). Kedua realitas ini,
yaitu lahir dan batin, merupakan hakikat keilmuan manusia[1].
Hakikat
ada atau realitas ada itu bagi filsafat selalu bersifat utuh. Misalnya, bila
secara ilmu hukum kita berfikir tentang kebenaran atau keadilan, maka dapat
ditunjukan bahwa kebenaran atau keadilan itu ada atau biasa diadakan dalam
hidup manusia sehingga bias dibuktikan atau ditolak kebenarannya.
2.
Cara Berfikir
Ontologi Dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut Muhadjir (2011), cara berpikir
ontology dapat berbenturan dengan suatu agama. Agama selalu berpikir tentang
ada atas dasar iman atau keyakinan. Filsafat ilmu ontology tidak mengajak
berdebat antara ilmu dan iman. Ontology sebagai cabang filsafat ilmu yang
mencoba mencermati hakikat keilmuan karena ontology menjadi pijakan manusia
berpikir keritis tentang keadaan alam semesta yang sesungguhnya.
Filsafat dalam hal ini lebih merupakan sesuatu pemiiran yang
universal, menyeluruh, dan mendasar, sementara ilmu lainya merupakan pemikiran
yang lebih psesifik atau khusus, karena membatasi pada objek dan sudut
pandang pemikiran yang khas. Objek kajian filsafat mencakup segala sesuatu,
sejauh bisa dijangkau oleh pikiran manusia. Filsafat berusaha menerangi dunia
dengan raasio, dan karena, fisafat lebih merupaka “kebijakan duniawi”, bukan
“kebijakan ilahi” yang sempurana dan mutlak abadi.
Filsafat tidak pernah akan menerima secara
buta berbagai pemikiran, keyakinan, egoism, keilmuan, atau pandangan kepribadian
yang bersifat individual semata. Justuru filsafat berusaha mengajukan
pertanyaan secara baru dan menjawabnya secara baru pula, berdasarkan aktualitas
dan tuntunan dinamika perkembangan yang dihadapi.
Pada masanya, kebanyakan orang belum
membedakan antara pengetahuan yang memuat penampakan dan kenyataan. Kedua hal
ini dalam pandangan thales sebagai filsuf pernah sampai pada kesimpulan bahwa
air substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Dia tampaknya
melihat realitas dari sisi yang tampak; yang tampak itulah realitas(kenyataan).
Secara seksama, dia sebenarnya telah berpikir berpikir ontology tentang
sangkaan peran alam semesta.
3.
Karakteristik
Ilmu Pengetahuan Secara ontology
Pengetahuan
dan ilmu pengetahuan tentu berkaitan dengan realitas. Orang yang mempelajari
pengetahuan dan ilmu pengetahuan akan menelusuri realitas secara cermat.
Hakikat kenyataan atau realitas memang bisa didekati dari sisi ontology dengan
dua macam sudut pandang kuantitatif dan kualitatif
Ontology sebagai cabang filsafat ilmu telah
melahirkan sekian banyak aliran otologisme. Tiap ontology biasanya memegang
pokok pikiran yang satu sama lain saling mendukung dan melengkapi.
Beberapa
aliran dalam bidang ontologi antara lain:
a)
Aliran Realisme
Realism merupakan filsafat yang memandang
realisasi secara dualistis. Berbeda dengan materialisme maupun dengan idealism,
yang sifatnya monistis.
Pada dasarnya, realisme berrpendapat bahwa
hakikat realism adalah terdiri dari dunia fisik dan dunia roh. Aristoteles
sebagai tokoh realisme memandang dunia serba dua, atau cara dualistis.
Aristoteles membangun sebuah metafiska terutama untuk menjelaskan dunia
alamiah.
b)
Aliran
Naturalisme
Naturalism merupakan suatu pendirian bukan
merupakan suatu dokrin, atau ajaran. Naturalisme memandangan bahwa ada
suatu aturan atau hokum alam yang mengatur dunia ini secara cerdas. Aturan ini
identik dengan atau dalam alam itu sendiri, tidak perlu mencari hokum dan
maknanya diluar alam, karena hukum maupun maknanya dapat dicari dalam alam itu
sendiri. Materialism yunani kelasik, adalah suatu contoh dari suatu bentuk
naturalism, karena dasar pandangannya adalah benda dalam gerak, dimulai oleh demokritos
(460-370 sm) yang telah dirintis oleh Leucippus dan dilanjutkan oleh
epicurus, yang lebih dikenal dengan epicurisme.
c)
Aliran
materialisme
Berbeda dengan idelaisme, materialism
menghilangkan jiwa, bahkan termasuk juga tuhan dihilangkan dari metafisika. Dan
mencoba untuk menjelaskan segala sesuatu dari sudut peristiwa materi. Menurut
materialime, bahwa kenyataan yang sebenarnya, atau hakikat realisasi adalah
materi, bukan roh, bukan spiritual atau bukan supernatural. Materi merupakan
satu-satunya substansi yang mengisi ruang dan waktu, tidak ada dunia lain
diluar dunia yang kita alami sekarang ini. Dengan kata lain tidak ada kehidupan
bagi manusia setelah manusia itu mati, manusia adalah materi yang sama seperti
batu, besi, dan materi yang lainnya[2].
Atas
dasar ketiga aliran tersebut, ontologi selalu memiliki ciri-ciri. Setiap aliran
memberikan gambaran luas suatu cabang keilmuan. Ciri-ciri terpenting yang
terkait dengan ontologi antara lain:
1)
Membahas yang
ada
2)
Kenyataan atau
realitas
3)
Eksistensi
4)
Esensi
5)
Substansi
6)
Perubahan
7)
Tunggal dan
jamak
Ontology itu pantas
dipelajari bagi orang-orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia
ini dan berguna bagi studi. Orang yang belajar ontology akan paham tentang
hakikat suatu ilmu.
Dasar ontology ilmu
mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindra manusia.
Jadi, masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris.
Objek otology sama
halnya dengan objek filsafat antara lain:
1)
Objek formal,
yaitu objek formal ontology sebagai hakikat seluruh realitas.
2)
Objek material,
yaitu suatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu yang diselidiki atau
sesuatu hal yang dipelajari.
B.
Epistemologi
1.
Pengertian
Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani “Episteme” yang berarti
Pengetahuan dan “Logos” yang berarti Teori. Secara
etimologis, berarti teori pengetahuan. Epistemologi adalah cabang filsafat yang
mempersoalkan atau menyelidiki tentang asal, susunan,metode, serta kebenaran
pengetahuan. Menurut Langeveld, teori
pengetahuan membicarakan hakikat pengetahuan, unsur-unsur pengetahuan, dan
susunan berbagai jenis pengetahuan, pangkal tumpuannya yang
fundamental,metode-metode dan batas-batasnya.
Jadi, epistemologi merupakan cabang atau bagian dari
filsafat yang membahas masalah-masalah pengetahuan.
Menurut Koestenbaum (1968), secara umum epistemologi
berusaha untuk mencari jawab atas pertanyaan “apakah pengetahuan?” Akan tetapi,
secara spesifik, epistemologi berusaha menguji masalah-masalah yang kompleks
seperti hubungan anatara pengetahuan dengan kepercayaan pribadi, status
pengetahuan yang melampaui pancaindra, status ontologis atau kata-kata yang
bersifat umum dengan objek-objek yang di tunjuk oleh konsep-konsep atau
kata-kata, dan analisis atas tindakan mengetahui itu sendiri[3].
2.
Berkenalan
dengan Epistemologi Islam
a.
Epistemologi
Bayani
Bayani dalam bahasa arab berarti penjelasan (explanation).
Arti asal katanya adalah menyingkp dan menjelaskan sesuatu, yaitu menjelaskan maksud suatu
pembicarakan dengan menggunakan lafadz yang paling baik (komunikatif).
Al-Jabiri
memaknai al-bayan secara epistemologi, dengan mengacu
kepada kamus Lisan al-arab karya Ibn Mandzur, yang
didalamnya tersedia materi-materi bahasa arab sejak permulaan masa tadwin,yang
masih mempunyai makna asli yang belum tercampuri oleh pengertian lain, karena
dari makna asli tersebut akan diketahui watak dan situasi yang mengitari. Makna
al-bayan di sini mengandung empat pengertian, yakni al-fasl wa al- infishal dan al-dzuhur
wa al-idzhar, atau bila harus disusun secara hirarkis atas dasar pemilahan
antara metode (manhaj) dan visi (Ru’yah) dalam epistemologi bayani,dapat
disebutkan bahwa al bayan sebagai metode al-fasl
wa al-infishal,sementara al bayan sebagai visi al-dzuhur wa al-idzhar.
b.
Epistemologi
Irfani
Irfani berasal dari kata irfan yang dalam bahasa arab
merupakan bentuk dasar (Masdar) dari
kata ‘Arafa, yang semakna dengan ma’rifat. Dalam bahasa arab, istilah al-‘irfan
berbeda dengan kata al-‘ilm. Al-‘ilm menunjukan pemerolehan objek pengetahuan
(al-ma’lumat) melalui transformasi (naql) ataupun rasionalitas (‘aql),
sementara irfan atau ma’rifat berhubungan dengan pengalaman langsung dengan
objek pengetahuan[4].
c.
Epistemologi
Burhani
Dalam bahasa
arab,al-burhan berarti argumen (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah;clear) dan
distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration,yang
mempunyai akar bahasa latin: demonstratio (berarti memberi insyarat,
sifat,keterangan dan penjelasan). Dalam perspektif logika (almantiq), burhani adalah aktivitas
berfikir untuk menetankan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan
(al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain
yang nalar dibenarkan telah terbukti kebenarannya(badlihiyyah). Sedangkan dalam
pengertian umum, burhani adalah aktifitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu
premis.
3.
Ruang
Lingkup Epietemologi
Menurut J.F.Ferrier (dalam Koestenbaun, 1968) Epistemologi pada dasarnya
berkenaan dengan pengujian filsafat terhadap batas-batas,
struktur-struktur, metode-metode, dan validitas (kebenaran) pengetahuan.
Berikut akan di deskripsikan ruang lingkup epistemologi sebagai mana
dikemukakan oleh Ferrier tadi.
a.
Batas-batas
pengetahuan
Para ahli filsafat
seperti John Locke (1632-1704), David Hume (1711-1776), dan Immanuel Kant
(1724-1804) sering mengajukan pertanyaan seperti ini: apakah pengetahuan,
terutama pengetahuan yang benar, mungkin tercapai oleh manusia? Ada sejumlah
jawaban yang diajukan dalam filsafat, diantaranya: skeptisisme, realisme naif,
skeptisisme Descartes, realisme kritis, kritisisme Immanuel Kant, dan
positivisme logis.
1.
Skeptisisme
Menurut paham ini, tidak mungkin kita mencapai
pengetahuan selain berupa pengenalan-pengenalan yang bersifat sementara. Gejala
atau realitas selalu berubah dan perangkat perseptual (indera) manusia tidak
sempurna, sehingga hasil persepsi (pengetahuan) manusia tidak pernah bisa
dipercaya. Demikian juga, rasio atau pikiran manusia sangat terbatas, sehingga
tidak akan pernah mungkin sampai pada pengetahuan yang sejati. Oleh sebab itu,
kita jangan meyakini kebenaran pengetahuan manusia, melainkan harus
meragukannya.
2.
Realisme
Naif
Pandangan ini biasanya dianut oleh orang awam (Common
Sense). Menurut paham ini, pengetahuan sangat dimungkinkan sejauh bersesuaian
dengan objek yang dipersepsi. Pengetahuan, konsep, atau gambaran tentang pohon,
misalnya, harus bersesuaian dengan pohin yang diamati. Pengetahuan kita adalah
gambaran yang sesungguhnya dari realitas diluar kita. Dunia adalah sebagaimana
ang tampak pada indra kita atau sebagaimana ia memanifestasikan diri dalam
kesadaran kita. Objek dalam kesadaran kita adalah gambaran sebenrnya dari objek
diluar kita dan demikian, pengetahuan yang melampaui atau diluar realitas yang
nyata adalah tidak mungkin. Pengetahuan hanya mungkin sejauh yang dapat diamati
dan dibuktikan melalui indra kita.
3.
Skeptisisme
Descartes
Menurut Descartes, segala sesuatu (termasuk apa yang ada
dalam pengetahuan kita dan bahkan pengetahuan itu sendiri) dapat diragukan
keberadaannya.
4.
Realisme
Kritis
Meski pengetahuan hanya mungkin sebatas pengalaman indra
(sebagaimana yang diyakini oleh realisme naif), tapi pengetahuan yang mengatasi
pengalamaanpun dimungkinkan, sejauh ada justifikasi rasional terhadapnya. Paham
ini mengatasi realisme naif, karna ia mengakui adanya peran pikiran manusia.
Pikiran manusia menambahkan dan sekaligus mendistorsi data dari dunia luar ;
namun ide-ide dan konsep-konsep yang kita miliki harus selalu bersesuaian
dengan (correspondence to) data. Jika
tidak, berarti ide- ide dan konsep-konsep tersebut keliru (salah).
5.
Kritisisme
Immanuel Kant
Menurut Kant, realitas pada dasarnya terbagi kedalam dua
dunia yakni Dunia fenomenal (phenomenon, atau dunia sebagaimana menampakan diri
pada pengamat) dan Dunia noumenal (noumenal, atau dunia yang sesungguhnya, yang
berada di dalam diri realitas itu sendiri). Meskipun dunia noumenal itu ada,
tetapi keberadaannya diluar pengetahuan kita. Kita tidak dapat sungguh-sungguh
menjangkaunya. Kant memberinya nama Ding-an-sich ( ada dalam dirinya sendiri)
pikiran manusia tidak bisa menembus dunia noumenal ini pengetahuan manusia
terbatas hanya pada dunia fenomenal, dunia pengalaman. Didalam dunia fenomenal,
pengetahuan kita merupakan campuran dari apa yang diterima (dialami) oleh kita
dari luar dengan proyeksi-proyeksi dan harapan-harapan kita sendiri: ruang dan
waktu adalah “ kondisi subjektif dari sensibilitas kita” atau “ bentuk dari
intuisi” yakni, mereka adalah proyeksi dari pikiran kita sendiri dan penambahan
pada kualitas murni atau bahan material dari pengalaman (warna bentuk suara)
yang masuk kesadaran dari luar.
6.
Positivisme
Logis
Aliran filsafat ini masalah yang bisa diketahui dan yang
tidak bisa diketahui diubah dalam bentuk yang bermakna dan yang tidak
bermakna.menurut aliran ini,kriteria untuk membedakan yang bermakna dari yang
tidak bermakna adalah pembuktian dari verifikasi empiris.dengan
demikian,batas-batas pengetahuan dan juga ukuran kebenaran suatu pengetahuan
adalah kemungkinannya untuk diverifikasi.
b.
Sumber
dan struktur pengetahuan
Apa sebetulnya
sumber pengetahuan itu ?bagaimana struktur nya? Ada sejumlah aliran filsafat
yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut,antara lain rasionalisme dan
empirisme.
Menurut
rasionalisme,pengetahuan pada dasarnya diperoleh dari pemikiran logis dan
deduktif melalui rasio manusia.sebaliknya,menurut empirisme, pengetahuan
diperoleh dari pengamatan inderawi manusia.jadi,empirisme menekankan karakter
eksperimental dan perseptual dari pengetahuan,sedangkan rasionalisme pada
karakter kekuatan logika dan matematika.
Untuk memahami
perbedaan antara rasionalisme dan empirisme mari kita lihat persoalan mengenai
pengetahuan a priori, atau
pengetahuan tentang suatu objek sebelum kita memiliki pengalaman tentang objek
itu. Rasionalisme abad ke-17 berpandangan bahwa semua atau beberapa pengetahuan
yang sangat penting tentang dunia secara logis tidak tergantung pada
pengalaman. Dengan oerkataan lain,rasionalisme percaya bahwa ada
proposisi-proposisi tentang dunia yang dapat diverifikasi dan dijustifikasi
hanya oleh kerja rasio,tanpa memerlukan bantuan pengalaman.
Empirisme menolak
kemungkinan pertimbangan a priori.bagi
seorang penganut empirisme,pengalaman empiris adalah satu satunya sumber
pengetahuan.tidak ada pengetahuan yang tidak berasal dari pengalaman. John
Locke bahkan menegaskan bahwa jiwa atau pikiran manusia pada dasarnya seperti
kertas kosong, seperti tabularasa; pengalamanlah yang mengisi jiwa atau pikiran
itu sehingga ia seolah-olah mempunyai pengetahuan a priori.
C.
AKSIOLOGI
1.
Pengertian
Aksiologi
Secara etimologis, aksiologi berasal
dari perkataan “ axios “ ( Yunani ) yang berarti “Nilai” dan “logos” yang berarti “teori”. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.
Penggunaan istilah aksiologi sebetulnya baru diperkenalkan oleh Paul Lapie daalam Bukunya, “Grundrisder Axiologie”. Teori tentang
nilai dapat kita bagi menjadi a) Nilai etika, b) Nilai estetika[5].
a.
Etika
Istilah etika berasal dari kata “ethos”
( Yunani ) yang Artinya ‘adat kebiasaan’. Dalam istilah lain para ahli yang
bergerak dalam bidang etika menyebutnya dengan ‘moral’. Walaupun antara kedua
istilah etika dan moral ada perbedaannya, namun para ahli tersebut tidak membedakannya
dengan tegas, bahkan cendrung untuk memberi arti yang sama secara pasti.
Menurut Langeveld
etika ialah teori perbuatan manusia, yaitu ditimbang menurut baik dan buruknya.
Selanjutnya Dagobert Runes, mengemukakan bahwa etika merupakan cabang filsafat
yang membicarakan perbuatan manusia dan meandangnya dari sudut baik dan tidak
baik.etika merupakan filsafat tentang prilaku manusia.
Etika dapat dipandang sebagai studi filsafat tentang
hubungan antar manusia,dan juga antara manusia dengan lembaga-lembaga yang
diciptakannya (pemerintah,lembaga-lembaga kemasyarakatan,hukum,ekonomi,bahkan
mungkin juga lembaga kepercayaan serta keagamaan)
b. Estetika
Estetika
merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni,dengan
pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni atau
kesenian.kadang-kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni,dan kadang-kadang
prinsip-prinsip yang berhubungan dengan estetika dinyatakan sebagai hakikat
keindahan. Selanjutnya Randall mengemukakan ada tiga interprestasi tentang
hakikat seni, yaitu :
1.
Seni sebagai penembusan [penetrasi] terhadap realisasi di
samping pengalaman. Dengan merespon terhadap apa yang kekal dan tidak berubah.
Plato menyatakan, bahwa ada suatu bentuk atau cita-cita absolut dari keindahan
dengan sifat-sifat tertentu itu. Keindahan absolut adalah abadi/kekal dan tidak
berubah, sedangkan semua benda-benda indah dalam alam ini adalah fana sifatnya
dan dapat rusak.
2.
Seni sebagai alat untuk kesenangan. Seni tidaklah
berhubungan dengan pengetahuan tentang alam dan memprediksikannya, tetapi
berhubungan dengan manipulasi alam untuk kepentingan kesenangan kita. Seni
tidak hanya kekurangan nilai praktis. Apabila tidak merupakan jalan untuk
kesenangan maka seni tidak mempunyai nilai apa pun. Menurut Tolstoy, seni
adalah penyebaran atau penularan emosi oleh seniman. Makin luas emosi dan makin
besar jumlah sentimen moral terlibat di dalamnya, akan semakin besarlah seni
itu.
3.
Seni sebagai ekspresi sungguh-sungguh tentang pengalaman
pandangan ini menganggap seni sebagai berakar dalam tali-tali pengalaman.
[pandangan ini adalah pandangan Santayana dan Dewey: seni adalah
pengalaman, yaitu pengalaman yang ditransformasikan secara sadar]. Seni adalah
pengalaman dan penyungguhan pengalaman dengan transformasi imajinatif tentang
pengalaman seni, sebagai pengalaman, mencerminkan pengalaman dan menambah
pengalaman.
2. Kategori Dasar Aksiologi
Menurut susanto(2011) mengatakan, ada dua
kategori dasar aksiologi : Pertama,objectivism,
yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek
yang dinilai. Kedua,subjectivism,
yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur
intuisi ( perasaan ). Dari sini muncul 4 pendekatan etika, yaitu teori nilai
intuitif, teori nilai rasional, teori nilai alamiah, dan teori nilai emotif.
1. Teori Nilai Intuitif ( The Intuitive Theory Of
Value )
Menurut teori ini, sangat sukar jika tidak
bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang
apsolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolut itu eksis dalam
tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditemukan melauli intuisi, karena ada
tatanan moral yang bersifat baku .
2. Teori Nilai Rasional (The Rational Theory Of
Value)
Menurut teori ini, janganlah percaya pada
nilai yang bersifat objektif dan murni independen dari manusia. Nilai ini
ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan
sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar sebagai fakta
bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan
dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi, dengan nalar atau peran tuhan nilai
ultimo, objektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3. Teori Nilai Alamiah (The Naturalistic Theory
Of Value)
Menurut teori ini nilai, diciptakan manusia
bersama dengan kebutuhan dan hasrat yang dialaminya. Nilai yaitu produk
biososial, artefak manusia yang diciptakan, dipakai diuji oleh individu dan
masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan
naturalis mencakup teori nilaininstrumental dimana keputusan nilai tidak
absolut tetapi bersifat relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat
subjektif, bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori Nilai Emotif ( The Emotive Theory Of
Value )
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan
konsepnnilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep
moral dan etika bukanlah keputusan 43 faktual melainkan hanya merupakan
ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak
bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting
dari tindakan manusia.
3. Ilmu Sebagai Suatu Cara Berfikir
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan
pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan disini merupakan
seperangkat sistem nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam hidup dan
berkehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang mencerminkan
aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan kehidupan bernegara.
Pengembangan kebudayaan nasional merupakan bagian dari kegiatan suatu bangsa,
baik disertai atau tidak, maupundinyatakan secara eksplisit atau tidak.
Ilmu merupakan suatu cara berfikir dalam
menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan.
Berpikir bukan satu-satunya produk dari kegiatan berfikir. Ilmu merupakan
produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum
dapat disebut sebagai berpikir ilmiah.
Berpikir ilmiah merupakan kegiatan berpikir
yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut pada
hakikatnya mencakup dua kriteria utama yakni, Pertama, berpikir ilmiah
harus mempunyai alur jalan pikiran yang logis, dan Kedua, pernyataan
yang bersifat logis tersebut harus didukung oleh fakta empiris. Persyaratan
pertama mengharuskan alur jalan pikiran kita untuk konsisten dengan pengetahuan
ilmiah yang telah ada, sedangkan persyaratan kedua mengharuskan kita untuk
menerima persyaratan yang didukung oleh fakta sebagai pernyataan yang benar
secara ilmiah. Pernyataan yang telah teruji kebenarannya ini kemudian
memperkaya Khazanah pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematik dan
kumulatif.
4. Ilmu Sebagai Asas Moral
Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar, atau secara lebih sederhana, ilmu bertujuan
untuk mendapatkan kebenaran. Kriteria kebenaran dalam ilmu adalah jelas
sebagaimana yang dicerminkan oleh karakteristik
berpikirnya kriteria kebenaran ini pada hakikatnya bersifat otonom dan
terbebas dari struktur kekuasaan di luar bidang keilmuan.
Disamping itu kebenaran bagi kaum ilmuwan
mempunyai kegunaan khusus, yakni kegunaan yang universal bagi umat manusia
dalam meningkatkan martabat kemanusiaannya. Secara nasional maka ilmuwan tidak
mengabdi golongan. Klik politik atau kelompok-kelompok lainnya. Secara
internasional kaum ilmuwan tidak mengabdi ras ideologi, dan faktor-faktor
pembatas lainnya.
Dua karaktereristik ini merupakan asas moral
bagi kaum ilmuwan, yakni menjunjung tinggi kebenaran dan mengabdi
secara universal. Tentu saja dalam kenyataannya pelaksanaan asas moral ini
tidak mudah, sebab sejak tahap perkembangan ilmu yang sangat awal kegiatan
ilmiah ini dipengaruhi oleh struktur kekuasaan dari luar.
5. Nilai-Nilai Ilmiah Untuk Kemajuan Budaya
Nasional
Sampailah kepada tujuh nilai yang terpencar
dari hakikat keilmuan, yakni kritis,rasional,logis,objektif,terbuka,menjunjung
kebenaran dan mengabdi secara universal. Dalam pembentukan karakter bangsa,
sekiranya bangsa indonesia bertujuan menjadi bangsa yang modern, maka ketujuh
sifat tersebut akan konsisten sekali. Bangsa yang modern akan menghadapi
berbagai permasalahan dalam bidang politik, ekonomi, kemasyarakatan,
ilmu/teknologii, pendidikan dan lain-lain, yang membutuhkan cara pemecahan
secara kritis,rasional,logis,objektif dan terbuka.
Pengembangan kebudayaan nasional pada
hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional
ke arah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi dan tujuan
nasional. Proses pengembangan kebudayaan ini pada dasarnya adalah tuntutan
zaman serta penumbuhan nilai-nilai yang fungsional, untuk terlaksananya kedua
proses dalam pengembangan kebudayaan nasional tersebut, maka diperlukan sifat
kritis, rasional, logis, objektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan pengabdian
universal.
6. Ilmu Sebagai Kekuasaan
Francis Bacon mengucapkan kata-kata termasyur ini “ ilmu
adalah kekuasaan”. Orang menulis mengenai Allah : “Allah berfirman, dan
terjadilah alam semesta”. Firman Allah, kata-kata Allah, mempunyai daya
menciptakan. Kita memang tidak bisa berkata bahwa kata-kata manusia itu begitu
saja mempunyai daya menciptakan. Ini sangat jelas dari kenyataan bahwa kita
menghayati perkataan kita tidak hanya
sebagai pemberian arti, tetapi juga sebagai pengambilan arti. Tetapi itu adalah
kebenaran yang sepihak, sebab perkataan kita mengambil arti pula. Kita
merasakan bahwa kita selalu terikat dengan apa yang ingin kita katakan. Kita
menyadari, bahwa kita bisa saja menyimpang dari sana. Kita bisa berkata
“meleset” dari padanya.
Orang menulis mengenai Allah : “ Allah
berfirman, dan terjadilah alam semesta”. Tentang manusia kita bisa berkata :
“Manusia berkata, dan alam semesta mendapatkan arti.” Hendaknya kita disini
jangan lupa, bahwa apa yang dikatakan oleh satu orang bisa berulang kali
diucapkan kembali oleh dia sendiri dan oleh orang banyak lainnya. Merleau
ponty menggunakan istilah “Ia parole parlee” [kata yang diucapkan].
Yang dimaksudkannya ialah sesuatu yang diucapkan oleh semuanya, atau oleh
kebanyakan orang.
Ini dibuktikan oleh sejarah pada zaman Galilei,
setiap orang berkata bahwa segala sesuatu berputar sekitar bumi yang tidak
bergerak, dan bahwa matahari mengelilingi bumi. Ada orang yang mengatakannya untuk pertama kali, dan semua
orangmenirukannya, jadi begitu lah adanya. Galilei mulai menentang itu dengan
alasan mengatakannya, suatu cara mengungkapkan persoalan dengan lebih baik.
Tetapi itu mendapat tantangan. Orang menentang Galilei demi kebenaran, bahkan
demi kitab suci yang dianggap menguatkan kebenaran itu dengan kekuasaan ilahi.
Galilei dituntut demi kebenaran, demi wahyu
ilahi. Sesungguhnya Galilei bertentangan dengan kekuasaan pemberi arti dan
kata-kaprah. Kekuasaan ini hampir menghancurkannya. Semua orang mengatakannya
dengan cara yang demikian, jadi, demikianlah adanya. Tentu saja, waktu
itu ada juga perbedaan pendapat, tetapi perbedaan-perbedaan pendapat itu nyata
sekali tenggelam dibawah cakrawala pendapat umum dibentuk oleh kekuasaan
bersama dari cara bertutur.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ontologi adalah cabang filsafat ilmu
yang membicarakan tentang hakikat ilmu pengetahuan. Noeng Muhadjir menjelaskan
bahwa ontology itu ilmu yang membicarakan tentang hakikat realitas yang ada.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mempersoalkan
atau menyelidiki tentang asal, susunan,metode, serta kebenaran pengetahuan.
Menurut Langeveld, teori pengetahuan
membicarakan hakikat pengetahuan, unsur-unsur pengetahuan, dan susunan berbagai
jenis pengetahuan, pangkal tumpuannya yang fundamental,metode-metode dan
batas-batasnya.
Jadi
aksiologi adalah teori tentang nilai. Penggunaan istilah aksiologi sebetulnya
baru diperkenalkan oleh Paul Lapie daalam
Bukunya, “Grundrisder Axiologie”.
Teori tentang nilai dapat kita bagi menjadi a) Nilai etika, b) Nilai estetika.
DAFTAR PUSTAKA
Mukhtar Latif, Orientasi Ke arah Pemahaman Filsafat Ilmu,
Kencana,2014,Jakarta
H. Burhanudin Salam, Logika Material,rineka
cipta,Jakarta,1997.
Zainal Abidin, Pengantar
Filsafat Barat,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,2011.
Mohammad Muslih, Filsafat
Ilmu,Yogyakarta,2004.
Latif mukhtar, orientasi kearah pemahaman filsafat ilmu,jakarta,kencana,2014.
[1]Mukhtar
Latif, Orientasi Ke arah Pemahaman Filsafat Ilmu,
Kencana,2014,Jakarta,hlm172.
[2] H.
Burhanudin Salam, Logika Material,rineka cipta,Jakarta,1997.hlm77-78.
[3]
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat,PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta,2011,hlm35.
[4]
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu,Yogyakarta,2004.hlm197-198
[5] Latif
mukhtar, orientasi kearah pemahaman
filsafat ilmu,jakarta,kencana,2014.hlm229